“MUHKAM dan MUTASYABIH”
| MAKALAH | ||
Diajukan guna memenuhi tugas individu dalam mata kuliah Ilmu Al-Qur’an
Disusun Oleh:
kawakiab
NIM. 102201155/ AS IV
Dosen:
Drs. H. Abd. Madjid AS, M.S.I.
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NURUL JADID
2011
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدالله رب العالمين والصلا
ة والسلام على اشرف المرسلين سيدنا محمدوعلى اله وصحبه اجمعين. اما بعد.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji Syukur
kehadirat Ilahi Rabbi – Tuhan Yang Maha Esa, Penagsih dan Penyayang yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga tugas makalah “ Muhkam
dan Mutasybih” dapat terselesaikan. Shalwat serta salam atas junjungan Nabi
besar Muhammad SAW, sebagai USwtun khasanah, sosok model yang paling ideal bagi
sekalian manusia untuk meraih kesuksesan dunia dan akherat
Dapat
terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari dukungan, bantuan dan motivasi
yang sifatnya spritual dan materil dari banyak pihak. Sehingga penulis mengucapkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya
Demikian yang
bisa penulis sampaikan, dengan harapan semoga Allah Swt, Senantiasa membalas
segala kebaikan mereka dan makalah ini dapat memberi manfaat sebaik-baiknya.
Amien
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Paiton karang
anyar probolinggo 09 Oktober 2011
Penulis
kawakib
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………….
i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..
ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….…………...
iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………..……..
4
1.1.Latar belakang penulisan
………………………………………………………….………… 4
1.2.Rumusan
Masalah……………………………………………………………………….…… 6
1.3.Tujuan
Penuliasan…………………………………………………………………………… 6
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………..
7
2.1. Makna Muhkam dan
Mutasyabihat………………………………………………...……….. 7
2.2. Kriteria ayat-ayat Muhkamat
dan Mutasyabihat ………………………………………..….. 9
2.3. Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh
dalam Al-Qur’an ……………………………….…….. 10
2.4. Pemabagian ayat-ayat Mutasyabihat
dalam Al-Qur’an …………………………………. ..12
2.5. Sikap Ulama menghadapi ayat-ayat
Mutasyabihat ……………………………………….. 14
2.6. Hikmah dan nilai-nilai pendidikan
dalam ayat-ayat Muhkam dan mutsyabihat…...............18
BAB III PENUTUP………………………………………………………………….
………..20
3.1. Kesimpulan…………………………………………………………………………………
20
3.2.
Saran……………………………………………………………………………………….. 21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Penulisan
“Al-Qur’an
memberikan kemungkian arti yang tak terbatas. Ayat-ayatnya selalu terbuka untuk
interpretasi baru; tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”
(Muhammad
Arkoun)
Betapa indah
gambaran Muhammad Arkoun dalam menjelaskan Al-Qur’an. Sepanjang zaman Al-Qur’an
akan selalu mengalami perkembangan penafsiran (interpretasi baru) sesuai
background sang penafsir. Pendapat Muhammad Arkoun di atas, dapat kita
buktikan dalam salah satu kajian Ulumul Qur’an, yaitu tentang Muhkam
dan Mutasyabih. Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial
sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara
ulama mengenai hakikat Muhkam dan Mutasyabih.
Dalam Al-Qur’an,
memang disebutkan kata-kata Muhkam dan Mutasyabih.
1.
lafal Muhkam ,
terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه….
Terjemahan:
Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya….
2.
lafal Mutasyabih
terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
كِتَابًا مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ….
Terjemahan : …(yaitu)
Al-Qur’an yang serupa (Mutasyabih) lagi berulang-ulang….
3.
lafal Muhkam dan
Mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada
Q.S. Ali Imran [3]: 7:
هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ
فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ
زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ
الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا…
“Dialah
yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat Muhkamat
yang merupakan induk dan lainnya Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya[1]
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang
mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat
semuanya itu dari sisi Tuhan kami”…
Berdasarkan tiga
ayat tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang
masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Muhkam berdasarkan
ayat pertama. Kedua berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Mutasyabih
berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an
Muhkam dan lainnya Mutasyabih berdasarkan ayat ketiga.
Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan Muhkam-nya
Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya pertentangan antara
ayat-ayatnya. Maksud Mutasyabih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi
kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya.[2]
Dalam makalah
ini, akan dibahas pendapat-pendapat para ulama ahli tafsir mengenai hakikat
ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apakah makna
dari Muhkam dan Mutasyabih?
2.
Apakah kriteria
ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih?
3.
Apakah
sebab-sebab terjadinya tasyabuh?
4.
Bagaimanakah
sikap ulama menghadapi ayat-ayat Mutasyabihat?
5.
Apakah hikmah
dan nilai pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabihat?
C.
Tujuan
penuliasan
Makalah ini
ditulis dengan tujuan:
1.
Untuk memenuhi
tugas individu mata kuliah ilmu Al-Qur’an
2.
Untuk menambah
pengetahuan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an
3.
Untuk mengetahui
hikmah dan nilai pendidikan dari ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
4.
Untuk mengetahui sikap ulama dalam menghadapi
ayat Mutasyabihat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna
Muhkam dan Mutasyabih
- Makna secara Lugawi (bahasa)
Muhkam
secara
lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang
yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan Muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan
membedakan antara yang hak dan batil.[3]
Mutasyabih
secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah
satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan
di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena
adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.[4]
- Makna secara Istilah
Banyak
sekali pendapat para ulama tentang pengertian Muhkam dan Mutasyabih,
salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah
sebagai berikut:
a)
Muhkam ialah
ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh.
Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui
maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang
hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang
terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar). Pendapat ini
dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
b)
Muhkam
ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui
takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui
maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang
terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini
dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan
mereka.
c)
Muhkam ialah
ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih
ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini
dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
d)
Muhkam ialah
ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih
ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu
dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula
karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari
Imam Ahmad. r.a.
e)
Muhkam ialah
ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna
yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna
seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya
indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam Mutasyabih
menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
f)
Muhkam ialah
ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih
ialah lawannya Muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak
dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
g)
Muhkam
ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir.
Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal,
muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi
dan banyak peneliti yang memilihnya.[5]
Subhi
ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa Muhkam adalah
ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang
maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil
yang kuat.[6]
B.
Kriteria Ayat-ayat
Muhkamat dan Mutasyabihat
Perbedaan
pengertian Muhkam dan Mutasyabih yang telah disampaikan para
ulama di atas, nampak tidak ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka
tentang Muhkam dan Mutasyabih, sehingga hal ini terasa
menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk Muhkam dan
Mutasyabih.
J.M.S
Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria
ayat-ayat Muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan
hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat
yang menuntut penelitian (tahqiqat).[7]
Ali
Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat sebagai berikut,
yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan,
ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat
yang harus diimani dan diamalkan.[8]
Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan,
ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat
yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang
boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib
al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat sebagai ayat
atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat,
ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu,
baik dengan ayat-ayat Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu
penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya
tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang
dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas,
Ya Allah,
karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan
tentang ta’wil kepadanya.[9]
Muhkam
menyangkut soal hukum-hukum (faraid), janji, dan ancaman, sedangkan Mutasyabih
mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.[10]
Ahmad
Syadali dan Ahmad Rofi’i meringkas ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam
Al-Qur’an.
1.
Disebabkan
oleh ketersembunyian pada lafal
Contoh: Q.S.
Abasa [80]: 31
وَفَاكِهَةً
وَأَبًّا
Terjemahan: Dan
buah-buahan serta rumput-rumputan.
Lafal
أَبٌّ di sini Mutasyabih karena ganjilnya dan
jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan
berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :
Q.S. Abasa [80]: 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا
لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
Terjemahan: Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang
ternakmu.
Ar-Raghib
al-Asfhani membagi Mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad
dan murakkab. Mutasyabih lafal mufrad adalah
tinjauan dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffun, al-abu; Isytirak,
seperti kata al-yadu, al-yamin.
Tinjauan
lafal murakkab berfaedah untuk meringkas kalam, seperti: wa in
khiftum alla tuqsitu fil yatama fankhihu ma taba lakum…., untuk meluruskan
kalam, seperti: laisa kamis|lihi syai’un, untuk mengatur kalam, seperti:
anzala ‘ala ‘abdihil kitaba walam yaj’al lahu ‘iwaja.[12]
2.
Disebabkan Oleh
Ketersembunyian Pada Makna
Terdapat
pada ayat-ayat Mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita
gaib.[13]
Contoh: Q.S.
al-Fath [48]: 10.
…يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….
Terjemahan:
…tangan Allah di atas tangan[14] mereka….
3.
Disebabkan oleh
ketersembunyian pada makna dan lafal
Ditinjau
dari segi kalimat, seperti umum dan khusus, misalnya uqtulul musyrikina, dari
segi cara, seperti wujub dan nadb, misalnya, fankhihu ma taba
lakum minan nisa, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh,
misalnya, ittaqullah haqqa tuqatihi, dari segi tempat dan hal-hal lain
yang turun di sana, atau dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan
adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu dilakukan bangsa Arab.[15]
Seperti, laisal birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha, segi
syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti
syarat-syarat salat dan nikah.[16]
D.
Pembagian
Ayat-Ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an
Al-Zarqani
membagi ayat-ayat Mutasyabihat menjadi tiga macam[17]:
1.
Ayat-ayat yang
seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan
tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat
dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59
وَعِنْدَه
مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ هُوَ….
Terjemahan : Dan pada
sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri….
2.
Ayat-ayat yang
setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian,
seperti ayat-ayat Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’[4]: 3
وَاِنْ خِفْـتُمْ
اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ….
Terjemahan: Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi….
Maksud
ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas.
Kalimat asal berbunyi :
وَاِنْ خَفْـتُمْ
اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا
مَاطَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ….
Terjemahan: Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain
mereka.
3.
Ayat-ayat Mutasyabihat
yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Inilah
yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ
فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Terjemahan: Ya Tuhanku,
jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
E.
Sikap Ulama
Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam
Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat Mutasyabihat yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah ar-Rahman [55]: 27:
وَيَبْقى
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Terjemahan:
Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau
dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Terjemahan:
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy.[18]
Dalam hal ini,
Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.[19]:
1.
Mazhab Salaf,
yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat Mutasyabih
itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah
dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui
hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui
hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah
atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`,
dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ
مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ
رَجُلَ السُّوْءَ
اَخْرِجُوْهُ
عَنِّيْ.
Terjemahan: Istiwa` itu
maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah
(mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini
dari majlis saya.
Maksudnya,
makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan
tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab,
pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan
dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’
di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui
maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan
mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ
الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Terjemahan: Dan tidak
mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam
ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya
dari al-Hakim dalam mustadraknya).[20]
2.
Mazhab Khalaf,
yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna
yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau
Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang
abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa
kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah
berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu
tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan
pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem
penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. [21]Alasan
mereka berani menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat, menurut mereka, suatu
hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang
mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak
bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka
nalar mengharuskan untuk melakukannya.[20]
Kelompok ini, selain didukung oleh
argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa
atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang
berbunyi:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ : (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ
الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـا
مِمَّنْ
يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Terjemahan: “dari
Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah
dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di
antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)[21]
Disamping dua mazhab di atas,
ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat
yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika
takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini
maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang
tidak laik bagi-Nya.
Adapun penulis makalah ini sendiri
lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab khalaf. Karena pendapat mazhab
khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin
hari semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh
orang-orang yang benar-benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an
adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu
Abbas.
Sejalan dengan ini, para ulama
menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak
dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan
salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan
pendapatnya dengan argumen aqli.[22]
2.6.
Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Ada pepatah yang mengatakan, khudil
hikmata min ayyi wi’ain kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar.
Begitu pun dalam masalah Muhkam dan Mutasyabih. Muhammad
Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita ambil dari
persoalan Muhkam dan Mutasyabih tersebut, hikmah-hikmah itu
adalah:
- Andaiakata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat Muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
- Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an Mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لاَ
يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ
حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Terjemahan: Tidak
akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana
lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fussilat [41]: 42)
- Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk teus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir. [23]
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya Muhkam
dan Mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya
Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang
mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap
bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal
suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash,
dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada
orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan,
ada manusia intelek dan manusia spiritual.[24]
Kalau hikmah ini kita kaitkan
dengan dunia pendidikan, setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” Muhkam
dan Mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter
pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai
guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan
pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam
kecerdasan dan karakter.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Adapun yang dapat penulis simpulkan
dari penulisan makalah ini adalah:
- Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan.
- Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
- Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam al-qur’an yang para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
- Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal Balaghah dan I’jaznya.
3.2. Saran
Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
adalah dua hal yang saling melengkapi dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai
ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai bayan
(penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasyabih sebagai ayat yang
tersirat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat dan kitab
sastra terbesar[25] sepanjang sejarah manusia
yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan di teliti. Sebagai ummat Islam
hendaknya kita lebih merenungi lagi maksud-maksud Allah menurunkan ayat-ayat
tersebut dalam bentuk yang berlainan. Dan menjadikannya pedoman dalam
seiap langkah kita.
Akhirnya, Wallahu a’lam bi as-Sawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an Digital
Chirzin, Muhammad. 2003. Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Dahlan, Zaini, dkk.1991. Mukadimah
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Syadali, Ahmad dan Rofi’i, Ahmad.
2000. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka Setia
Qardhawi, Yusuf. 1997. Al-Qur’an
dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press.
Wikipedia.2006.Muhkam-Mutasyabih.http://id.wikipedia.org/wiki/
Muhkam-Mutasyabih. Diakses 30 September 2011 pukul 12.50-17.20
[20] Ibid, hal. 128
[21] Ibid, hal. 219
[22] Ibid, hal 222
[23] Muhammad chirzin, Op.cit.
hal. 74-75
[24]Yusuf Qardhawy.1997. Op.cit.
hal. 226
[25] Meminjam istilah M.Nur Kholis
Setiawan dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta:
elSAQ, 2005).
Download PDF : MUHKAM dan MUTASYABIH revisi
[1] Ta’wil berasal dari kata kerja awwala–yuawwilu-ta’wil
yang berarti “kembali”. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an dari sudut bahasa
berarti mengembalikan makna ayat kepada apa yang dikehendakinya. ( Zaini
Dahlan, dkk. 1991. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Wakaf, hal. 52. Adapun takwil dalam ayat tersebut artinya
interpretasi sendiri. (ibid, hal. 52).
[3] Muhammad
Chirzin. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, hal. 70
[5] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit, hal. 201-203
[6] Muhammad Chirzin, op.cit,
hal. 71 atau baca bukunya Subhi ash-Shalih. 1995. Membahas Ilmu-ilmu
Al-Qur’an, terjemah: Team Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal.
171-174
[7] Ibid, hal. 73, atau
baca J.M.S. Baljon. 1991. Tafsir Qur’an Muslim Modern, terjemah:
Ni’amullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 11-13.
[8]
Ibid,
hal. 73 atau
baca Syamsurizal Panggabean, Makna muh}kam dan Mutasya>bih dalam
Al-Qur’an, makalah disampaikan dalam diskusi Al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 5 maret 1989, hal 3-4.
[10] Zaini
Dahlan, dkk, op.cit.,hal.178.
[11] Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. op.cit,
hal. 204.
[12] Muhammad
Chirzin, op.cit. hal. 74
[14] Orang
yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan
Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu.
jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa
berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi
seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah
diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai
makhluknya. (Digital Al-Qur’an)
[15] Yusuf Qardhawy.1997. Al-Qur’an
dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani
Press. Hal. 223
[16] Muhammad Chirzin, op.cit.,
hal. 74.
[17] Ahmad Syadali dan Ahmad
Rofi’I, op.cit, hal. 206.
[18] Bersemayam di atas ‘Arsy ialah satu sifat Allah yang
wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.(Digital
al-Qur’an)
[19] Ahmad
Syadali, dan Ahmad Rofi’i. Op.Cit, hal. 211-212.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar